Kamis, 02 Desember 2010

Nafas Jalanan

Oleh Sonia Fitri

Langit tampak gelap. Angin dingin mulai mengusik bulu kuduk. Pasti nanti sore hujan turun lagi. Akhir-akhir ini cuaca memang sedang tak karuan. Ah, tidak juga, bahkan dimana-mana keadaan sedang tak karuan. Seperti tak karuannya hidupku dan jalanan ini. Di salah satu sudut perempatan jalan ini aku menghabiskan waktu sejak pagi, sambil membaca Koran hari ini. Di halaman depan diberitakan mobil mahal milik pejabat tinggi Negara dilempari telur busuk oleh seorang demonstran. Media heboh dan memberitakannya di setiap Koran hari ini. Aku hanya tersenyum sambil terus membaca. Memang berita model seperti ini banyak menarik perhatian.
Ada apa dengan masyarakat kita? Apa mereka sudah kehilangan rasa sopan santun dalam menyuarakan aspirasi dan protes mereka?. Oh mungkin kurang tepat pertanyaan ini. Ada apa dengan pemimpin kita sehingga ada rakyat yang berani melakukan penghinaan seperti ini?, mungkin pertanyaan itu lebih tepat. Pertanyaan yang tak akan kuajukan pada pejabat atau pada siapapun. Bisa jadi kujawab sendiri sambil menertawakan si pejabat malang. Pastinya wibawanya terusik oleh aksi heboh ini. Entahlah, aku tak terlalu paham. Rakyat pantas protes dan menuntut kesejahteraan yang telah dijanjikan para pejabat itu saat ia kampanye. Saat janji yang diminta malah diabaikan, beginilah jadinya. Mungkin aku merupakan salah satu bagian masyarakat yang tidak tahu apa-apa. Saat proses pemilihan ketua daerah tempo hari aku tak banyak ambil pusing. Karena diberi satu kaus partai dan sekilo beras aku memilih calon pemimpin yang gambar fotonya ada warna serupa dengan kaus pamberian mereka
Kubuka halaman selanjutnya. Wah, seorang mafia pajak yang sedang dalam proses pengadilan tertangkap oleh kamera wartawan berada di Bali. Sedang liburan rupanya dia. Padahal dalam pemberitaan, statusnya adalah terdakwa dan seharusnya mendekam di penjara. Enak betul dia, bisa liburan seenak udelnya, nonton pertandingan tenis pula, katanya sih itu olehraga kesukaannya. Mungkin saja rumah tahanan yang selama ini ditempatinya hanya jadi rumah singgah, seenaknya dia bisa keluar dan masuk. Toh dia punya uang, dan uang akan menguasai segalanya. Yang menarik adalah wig (rambut palsu) yang ia kenakan. Lucu, seperti milik Dora, tokoh kartun yang sering ditonton oleh anak saya yang bungsu.
Aku jadi teringat pada si Nacun, pemabuk tetangga rumah kardusku. Sudah empat bulan ini ia mendekap di rumah tahanan. Sebulan lalu istrinya melahirkan dan meski ia menangis dan memohon pada bapak polisi yang terhormat, tetap tak bisa keluar. Masih kuingat matanya yang berair menghadapi situasi ini. Ia tak bisa melihat wajah anak pertamanya, dan ia hanya pasrah karena ia tak punya uang.
Sudahlah, kututup surat kabar hari ini dan mulai memerhatikan sekitar. Tiap hari kusaksikan banyak pergerakan. Kata tetanggaku yang seorang guru, Mobilitas istilah kerennya. Kaum inteletual memang sering berbahasa yang asing dan aneh dan selalu terdengar keren, dan mereka pun merasa keren pastinya. Para kaum intelek memang kerap berkata dengan egois, mentang-mentang sudah belajar di mimbar akademik, mereka seenaknya bicara hal-hal yang tidak kami mengerti. Dan respon kami hanya mengangguk-angguk saja. Gengsi kalau harus bertanya maksudnya apa, sudah miskin, masa mau kelihatan bego juga?
Asap kentut knalpot kendaraan yang tiap hari lalu lalang tanpa permisi menjadi nafas kehidupan buatku. Meski kata kebanyakan orang asap sisa pembakaran itu adalah racun yang berbahaya, tapi tidak bagiku. Ia seakan menjadi pengganti oksigen yang memang sudah langka di jalanan sepadat ini. Mobil, dari mulai yang besar sampai yang kecil, dari yang bagus sampai yang butut saling berkejaran. Ditambah motor berbunyi cempreng yang sulap salip tak mau kalah. Mereka berwarna-warni, membentuk harmonisasi warna yang indah bak penyanyi. Bisingnya jalan adalah musik kehidupan buatku dan teman-teman senasibku.
Sepanjang pinggir jalan, tampak berderet kios-kios yang dijaga oleh para enci dan kokoh berkulit pucat dan bermata sipit. Mereka jelas bukan dari bangsa kami yang katanya berkulit sawo matang. Mereka para cina pendatang yang akhirnya berhasil dalam perantauan di negeri ini. Buktinya, di sepanjang jalan ini saksinya. Dalam posisi strategis, mereka mendagangkan barang-barang kebutuhan hidup dan material yang penting serta produk kesenian Dalam toko grosir mereka.
Lalu dimana para saudaraku, sang tuan rumah. Kenyataannya, posisi merekatak jauh beda denganku. Ada di trotoar mengisi jalan dengan dagangan eceran. Dari mulai yang menggunakan gerobak, sampai yang hanya mendagangkan belas kasihan orang-orang yang lewat. Kulihat kek Jejen terduduk lelah dengan tanggungan sekotak dagangan yang sedari tadi di panggulnya di atas bahunya yang rapuh. Ada rokok serta minuman dingin di dalamnya. Ia juga menggenggam berlapis surat kabar hari ini.
Kek Jen sudah seperti bapak buatku. Ia sudi berbagi secuil makanan sisa tadi pagi denganku dan anak-anak yang kerap mendendangkan lagu jalanan saat lampu merah. Makin hari, gurat keriput di wajahnya makin ketara saja. Kali ini ia menoleh dan tersenyum getir padaku. Rupanya dagangannya masih bertumpuk.
Tak jauh dari tempat kek Jen duduk, Beberapa anak berkumpul sambil tertawa riang. Mereka sama sekali tak menghiraukan kek Jen apalagi aku. Mereka asyik sendiri dengan kesenangan khas anak. Dalam situasi tak karuan seperti ini mereka selalu bisa tersenyum. Aku bangga pada mereka.
Masih kuperhatikan. Kali ini kulihat mata mereka bebinar, begitu pula mata kek Jejen. Rupanya tiang angkuh berlampu tiga warna itu menyalakan warna merah. Artinya kendaraan berhenti dan mereka akan mulai beraksi. Menyodorkan apa yang mereka punya pada pengguna jalan. Dari mulai dagangan eceran sampai sodoran tangan belas kasihan. Lantunan lagu anak jalanan tak mau ketinggalan.
Tik…tik…, pipiku basah. Segera kusadari bahwa hujan lebat akan turun. Dalam hitungan detik saja, rintik hujan itu makin membanyak. Memandikan jalanan dan kendaraan yang lewat. Para pengguna trotoar makin mempercepat langkahnya. Mencari tempat berlindung. Tapi mereka masih bertahan, tak mau menyerah melawan hujan. Masih mengusik para pengguna jalan yang sekarang kelihatan setres.
“Permisi, mau numpang Tanya, kalau jalan Pungkur ke sebelah mana?,” seorang gadis muda membuyarkan pengamatanku. Awalnya aku tak bisa melihat jelas wajahnya karena tertutupi payung warna kelabu. Namun saat kucoba menyelidik, suasana hatiku jadi berubah seperti warna payung sang gadis. Wajahnya mengingatkanku pada si sulung. Anak paling cantik berkulit putih bermuka lonjong. Gadis it uterus kuperhatikan, sambil kuyakinkan diri bahwa dia bukanlah anakku karena ia tak punya tahi lalat di dagu seperti yang anakku punya.
Sudah dua tahun anakku merantau jadi pahlawan Devisa, itu kata orang-orang media. Sejak sebulan kepergiannya, tak pernah ada kabar sampai hari ini. Berbagai pemberitaan media tentang penyiksaan TKI dan TKW selalu membuatku merinding. Apakah anakku jadi salah satu dari mereka? Ah, bahkan aku sangat takut memikirkannya. Aku yakin, pasti ia akan baik-baik saja di negeri kanjeng Rosululloh itu. Doaku menyertaimu nak!
“Maaf,” rupanya si gadis menunggu. Aku tersenyum dan segera menunjukan jalan. Kuceritakan padanya bahwa memang jaraknya agak jauh bila berjalan kaki dari sini. Apalagi hujan tak juga mau reda. Aku terus menatapya yang kali ini tampak berpikir. Oh, tuhan, rinduku pada si sulung rinduku makin menggunung saja. Ingin rasanya aku memeluk dan menciumnya. Tapi tetap aku harus menahan diri. Toh dia bukanlah anakku. Ia hanya seorang gadis berpayung warna kelabu.
Masih banyak yang harus kupikirkan. Masih ada tiga tanggungan nyawa yang harus kutopang seorang diri. Mereka masih sekolah untuk bekal hidup mereka saat kelak aku tiada. Hanya hujan doa yang bisa kutitipkan pada Tuhan untuk si sulung, dan aku masih harus tetap menjalani hidup bersama jalanan yang tak pernah berhenti dari kesibukannya.
“Ibu, tolong antarkan saya ke sana saja, berapa ongkos becaknya?,” si gadis bertanya lagi.
“lima ribu,” jawabku singkat seraya mempersilakan penumpang pertamaku hari ini duduk, dan aku segera naik kebelakang, siap untuk mengayuh.